![]() |
Keberagaman |
EkoKuntadhi.id, Jakarta - MUI Jatim baru saja
keluarkan statemen, salam dengan menggunakan ucapan semua agama itu syubhat,
harus dihindari. Padahal baik Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Salam
Kebajikan, Om Swastyastu, Syalom artinya sama saja. Mengharapkan kesejahteraan
dan berkah Tuhan untuk orang lain.
Sebab kita
mungkin tahu, Tuhan pandai semua bahasa. Dia memahami bahasa yang terucap
maupun tersembunyi. Sementara manusia hanya bisa mamahami bahasa yang
dimengerti.
Assalamualaikum
hanya bahasa Arab, yang kalau dalam bahasa lain artinya Salam Sejahtera atau
Salam Kebajikan atau Om Swastyastu. Terus masalahnya dimana?
Quran memang
berbahasa Arab. Karena diturunkan di Arab kepada kanjeng Nabi yang secara
sosiologis berbahasa Arab. Tapi justru Quran memerintahkan manusia untuk
berbahasa yang baik. Bahasa yang baik tidak sebatas pelafalan, tetapi bisa diserap
dengan baik juga oleh penerimanya.
Sebab Islam
diperuntukan kepada semua manusia, bukan hanya yang berbahasa arab saja, maka
justru nilai-nilainya bisa diserap dalam berbagai budaya dan bahasa.
Mengucapkan
salam adalah sebuah ekspresi keramahan. Ekspresi persahabatan. Ekspresi
penghargaan manusia kepada manusia lainnya. Karena itu perlu diucapkan dengan
bahasa yang dimengerti. Yang dimaknai positif oleh lawan bicara.
Dengan kata
lain salam adalah sebuah tanda keindahan persahabatan.
Ketika MUI
Jatim mengkotak-kotakan salam hanya boleh diucapkan dalam bahasa Arab, mereka
sedang mereduksi makna keindahan salam. Mereka justru sedang merampas makna
salam yang sebetulnya universal menjadi begitu terbatas.
Lantas,
bagaimana membuktikan Islam adalah rahmat bagi semua alam, padahal hanya
sekadar mengucapkan salam saja sudah begitu egois. Sudah mengharam-haramkan
jenis ucapan lainnya.
Mengucapkan
salam tentu berbeda dengan ucapan sholat. Ketika sholat umat Islam melakukan
ritual ibadah dan komunikasi kepada Allah. Tata caranya mesti mengikuti Rasul
yang mengajarkan. Karena itu bahasa dalam sholat sifatnya ajeg. Meskipun setiap
mazhab punya tafsir sendiri tentang bacaan sholat.
Bacaan ruku
ala NU, misalnya, berbeda pelafalan dengan bacaan ruku teman-teman Muhamadiyah.
Bacaan tahiyat mazhab Syafii berbeda dengan Mazhab Jafari. Tapi ok, rumusan apa
bacaan ruku, sujud, tahiyat biarlah menjadi urusan para ahli fiqh. Kita hanya
mengikuti saja.
Tapi bacaan
salam, yang dimaksudkan sebahai ekspresi persahabatan manusia, rasa-rasanya
tidak perlu dipersoalkan. Toh, kanjeng Nabi mengajarkan mengucapkan salam
maknanya sebagai wujud bahwa agama memerintahkan kita untuk mengikat
persaudaraan. Mengikat persahabatan. Bukan malah membatas-batasi.
Justru ketika
MUI Jatim melarang ucapan salam selain Assalamualaikum, yang terjadi adalah
mereduksi makna salam itu sendiri. Mereduksi maksud baik sebuah ucapan
persahabatan dan keakraban sesama manusia. Masa kita hanya mau ucapkan salam
pada yang seagama saja?
Mengucapkan
asaalamualaikum, salam sejahtera, salam kebajikan, om swastyastu, syalom
sejatinya adalah penghargaan pada keragaman. Bahwa hubungan kemanusiaan tidak
hanya dibatasi oleh satu agama saja. Bahwa ketika semua ekspresi salam
diucapkan oleh seorang muskim, dia sedang menunjukan makna Islam sebagai
rahmatan lil alamin.
Demikian juga
dengan umat kristiani. Salam dalam berbagai pengucapan menunjukan mereka sedang
mempraktekan ajaran kasih pada sesama manusia.
Jadi
sudahlah. Orang-orang sudah mendiskusikan bagaimana aturan waktu sholat di
Mars, yang durasi mataharinya berbeda dengan bumi. Sebab ilmu pengatahuan
memungkinkan Mars jadi tempat manusia hidup nantinya.
Atau
bagaimana teknologi memudahkan kehidupan. Bagaimana misalnya, bayi tabung,
hasil pembuahan ovum dan sperma pasangan suami istri dititipkan ke rahim
perempuan lain. Apa hukumnya?
Atau
bagaimana status hukum manusia hasil kloning, misalnya. Yang dihasilkan dari
sel tanpa pembuahan normal.
Dan tentu
saja masih banyak persoalan-persoalan lain.
Pada banyak
hal cara beragama yang cupet, telah menjauhkan agama dari perkembangan
teknologi dan pengetahuan. Yang bumi datarlah. Yang semua perempuan gak boleh
keliatan wajahnyalah.
Masa kini,
mau dijauhkan lagi dengan makna kemanusiaan universal. Dengan
mengharam-haramkan ucapan salam selain Assalamualaikum?
Bukan berarti
Assalamualaikum harus diganti. Tapi apa salahnya jika pengucapannya
disandingkan dengan bahasa lain yang maknanya sama saja. Tentu saja jika
forumnya terdiri dari orang berbagai agama.
Saya sendiri,
pernah jadi pembicara di beberapa gereja, tetap saja saya ucapkan
Assalamualaikum sebelum ucapan lainnya. Bukan apa-apa. Cuma karena kebiasaan
saja...
"Mas,
dapat salam dari Emi," ujar Kumkum.
"Emi
mana, Kum?"
"Emiang
gue pikirin..."
Garing, lu!
0 komentar