![]() |
Ancaman di medsos |
EkoKuntadhi.id, Jakarta - Sejak peristiwa
ambulans batu yang memang nyata itu (ada tersangka, ada batunya, ada ambulans)
saya, Denny Siregar, Yusuf Muhammad,
dan beberapa orang lain dituding sebagai buzzer istana.
Ah, mungkin
juga karena saya setuju revisi UU KPK. Denny juga kayaknya sama. Menyetujui
revisi UU KPK. Alasannya kami tuliskan di medsos. Lengkap dengan argumennya.
Soal ada
orang lain yang punya pikiran lain, silakan saja tuliskan pikirannya sendiri.
Sampaikan alasannya. Medsos itu demokratis. Setiap orang bisa menyuarakan apa
yang dipikirkan. Bisa juga membantah langsung di kolom komentar.
Tempo
tampaknya juga tersinggung. Mereka menuliskan fitnahan tentang buzzer itu di
medianya. Tempo minta buzzer ditertibkan. Bagaimana menertibkanya? Pakai SIUPP?
Tempo menuding
orang yang berbeda untuk ditertibkan. Seperti media yang minta pemerintah
membredel media lain yang berbeda.
Padahal saya
pikir, Tempo itu media yang menjunjung semangat diskusi. Semangat yang
memaklumi perbedaan. Dan kini, opini redaksinya meminta orang-orang yang
menulis opininya di media sosial untuk 'ditertibkan'.
Oalah, Tempo.
Kok, jadi begini?
Apa karena
Anda marah, ketika netizen komplen dengan cover majalahmu yang melecehkan
Jokowi. Lalu netizen ramai-ramai uninstall aplikasimu? Sehingga sahammu ambruk,
dan bisnismu terganggu.
Begitupun
ketika saya mengecam aksi-aksi brutal yang terjadi hampir saban malam di
Jakarta. Akun twitter saya langsung diserbu. Bertebaran segala caci maki dan
ancaman.
Bagaimana
mungkin kecaman pada kebiadaban orang yang membawa molotov, melempari polisi
dengan batu, merusak fasilitas umum, lalu dianggap sebagai buzzer. Emang, semua
rakyat Indonesia barbar, sehingga perilaku para perusuh itu harus
ditepuktangani?
Gak. Saya gak
mau menyerah. Saya akan tetap mengutuk tindakan perusuh itu.
Teman saya
Ninoy Karundaeang baru saja diculik dan digebuki. Sama seperti saya, Ninoy
sering menulis kritis. Dan karena itu juga dia diculik dan digebuki.
Kalau baru
diancam dan dibully di medsos saya sudah biasa. Baru juga dikatain buzzer
istana. Lha, hampir setiap hari saya dituding kafir, sesat, halal darahnya.
Saya santai saja. Emang gue pikirin.
Percayalah,
semua itu gak akan pernah menyurutkan saya untuk terus menulis. Menulis apa
yang saya pikirkan. Menulis apa yang menurut saya benar. Soal orang lain tidak
sependapat, itu bukan urusan saya. Kalau punya pendapat sendiri, tuliskan saja
opinimu di medsos. Makin banyak pendapat makin bagus buat publik. Ada semacam
gerak pencerahan.
Sebab sebagai
warga negara negeri demokratis, saya ingin memanfaatkan ruang ini. Saya gak mau
dibungkam dengan ancaman, tudingan, atau bullyan. Itu terlalu kecil untuk
dipikirkan.
Saya akan
terus menulis. Jikapun karena itu, darah saya halal untuk mereka. Saya gak
peduli.
"Mas,
kalau mereka bilang darahmu halal. Gampang," saran Abu Kumkum.
Gampang
gimana, Kum?
"Kamu makan babi aja. Kan darahnya jadi haram
tuh?"
0 komentar