![]() |
Capres Prabowo |
Kita ini memilih Presiden. Bukan memilih cireng.
Presiden itu, bagi kita adalah orang biasa. Ia bisa salah.
Bisa teledor. Bisa juga jahat. Tapi karena kita tahu Presiden memiliki
kekuasaan yang besar di tangannya, kita harus pastikan jenis orang yang akan
menduduki jabatan itu. Inilah yang kini sedang kita jalani.
Kita teliti mereka. Kita kuliti karakternya. Kita telaah
motif-motif pribadinya. Bahkan, kita telusuri perilaku keluarganya.
Inilah berkah demokrasi. Sebab demokrasi dalam dirinya
tersimpan sebuah sikap bijak : semua orang bisa melenceng. Jika yang melenceng
seorang Presiden, seluruh rakyat kena getahnya.
Demokrasi menyediakan ruang untuk memperkecil potensi
melenceng itu. Karena kita semua bisa ikut mengawasi. Ikut menentukan bahan
bakunya --jenis manusia seperti apa yang akan memimpin Istana negara.
Zaman Orba, boro-boro kita bisa memilih Presiden.
Presidennya sudah ada : Soeharto. Kita hanya diminta stempel saja. Agar ia
merasa dipilih. Padahal sejatinya ia mengangkat dirinya sendiri.
Sekarang seorang Capres harus siap dikuliti. Dibedel
satu-satu informasi tentang dirinya. Sebab, sekali lagi, kita hanya ingin
memastikan, kelak jika mereka jadi Presiden, peluang kesalahannya kecil. Dan
--amit-amit-- kita gak mau punya Presiden orang jahat.
Jadi sebetulnya, gak ada lagi yang terlalu pribadi bagi
seorang Capres. Justru karena kita mau memilih seorang individu. Dengan segala
karakter dan kecerdasannya. Dengan segala kemampuan dan wawasannya. Juga
kebiasaan-kebiasaanya. Semua informasi tentang dirinya harus dibuka ke publik.
Aneh rasanya, jika informasi luas tanah yang dikuasai
Prabowo dianggap sebagai serangan pribadi. Padahal luasnya sehohah!
Dalam kampanye, Capres mengeluarkan konsep-konsep dan
rencana. Menggelontorkan janji-janji. Bagaimana kita menilai janji-janji itu
bakal dijalankan? Bagaimana kita menilai rencana-rencana dia bisa terwujud?
Pelajari kesehariannya.
Jika seorang Capres mengkritik soal pembagian tanah untuk
rakyat, tapi dia sendiri menguasai tanah lima kali luas Jakarta. Itu namanya
bullshit!
Jila seorang Capres teriak-teriak soal keadilan sosial,
sementara ia sendiri tidak membayar gaji karyawannya, itu namanya ngedabrus.
Jika seorang Capres bicara soal anti LGBT, sementara anaknya
sendiri pelaku LGBT, itu adalah kebohongan besar.
Jika seorang Capres bicara pentingnya nilai-nilai dalam
keluarga, sementara keluarganya sendiri amburadul. Itu namanya mengkhayal.
Jika seorang Capres bicara soal hak asasi manusia, sementara
ia sendiri dipecat dari militer karena menculik orang. Itu namanya membual.
Jika seorang Capres bicara pentingnya beragama, sementara
agamanya sendiri tidak jelas. Itu namanya, hellowwww... (lempar poni).
Jika seorang Capres bicara kemajuan teknologi, sementara ia
sendiri suka melempar HP. Itu namanya pemberang.
Ini Indonesia tahun 2019, Wo! Bukan lagi jaman Orde Baru.
Sekaranglah waktunya rakyat bisa nikmati mekarnya demokrasi.
"Aku tambahi, mas. Jika seorang Capres punya kuda
banyak, tapi tidak ada satupun yang bertanduk. Itu tandanya dia belum punya unicorn,"
Abu Kumkum, menuntaskan ocehanku pagi ini.
0 komentar