Ketika mahasiswa saya sempat
membaca sebuah buku agak tebal yang ruwet. Entah karena terjemahannya yang
kurang pas atau karena kedalaman isinya hingga otak saya terengah-engah untuk
menggapai. Buku itu tentang penelaahan mistikal yang dipotret dalam kajian
ilmiah. Buku yang berkisah mengenai ungkapan-ungkapan kecintaan umat Islam
kepada Kanjeng Nabi. Judulnya 'Dan Muhamad adalah Utusan Allah', ditulis oleh
Annemarie Schimmel.
Schimmel adalah profesor kajian
agama dari Universitas Harvard. Dia mendapat gelar doktor pada usia 22 tahun
dan setahun kemudian diangkat sebagai profesor bidang kajian mistisme Islam.
Perempuan ini 'jatuh cinta' pada pada karya-karya Jalaluddin Rumi dan Muhamad
Iqbal.
Schimmel dibesarkan di Jerman
dalam suasana yang menggembirakan. Ayahnya menyukai puisi dan ibunya seorang
pemeluk Kristiani yang taat, yang rajin membacakan kisah dongeng kepada
Schimmel kecil. Ia memiliki sebuah buku kumpulan dongeng terbitan 1872.
Salah satu kisah di dalam buku
itu berjudul 'Padmanaba dan Hasan' yang mengisahkan kunjungan seorang guru
India ke Damaskus begitu membekas dalam diri Schimmel. Ia takjub pada sebuah
kutipan yang begitu mempengaruhi batinnya. "Manusia sebenarnya sedang
tertidur. Ketika mati, baru mereka terjaga."
Itulah pemahaman mistikal pertama
yang kemudian menyeret Schimmel mempelajari mistikal Islam. Ia menguasai
berbagai bahasa seperti Arab, Parsi, Urdu, Perancis, Jerman, dan Inggris.
Dengan perangkat bahasa itulah Schimmel menelusuri karya-karya mistikus besar
dalam Islam, Jalaluddin Rumi. Matsnawi Rumi semacam pelita bagi Schimmel untuk
memasuki labirin-labirin mistis dalam ajaran Islam klasik.
Nah, pada buku yang pernah saya
baca itu Schimmel mengisahkan bagaimana seluruh lapisan umat Islam di dunia
memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan kecintaanya pada Rasulullah Saw.
Bahkan kata Schimmel ada seorang ulama besar, yang menghabiskan waktunya hanya
untuk menulis kitab begitu tebal yang isinya mengungkapkan pujian pada sepasang
terompah (sandal) Sang Nabi.
Ya, pujian pada sepasang terompah
yang dipakai Kanjeng Nabi, yang menemaninya dalam menyebarkan kasih sayang.
Dimana debu-debu Arabia bergantian menempel di telapaknya. Kitab yang dipenuhi
puisi itu jadi semacam bukti kecintaan seorang hamba pada Nabinya.
"Jika diriku dibandingkan
dengan debu yang menempel di ujung terompah Muhammad, sungguh, aku merasa malu.
Debu-debu itu jauh lebih mulia dari diriku."
Mencintai Rasulullah adalah
bagian dari penghayatan pada agama. Bukankah Rasulullah tidak pernah meminta
balasan apa-apa atas semua dakwahnya kepada kecuali kecintaan kita pada
keluarganya? Cinta perlu diekspresikan. Membaca shalawat dan pujian adalah
ekspresi kecintaan pada Nabi.
Kita tahu. Dalam Islam, hanya ada
satu perintah, sebelum Allah memerintahkan manusia mengerjakannya, Dia sendiri
sudah melakukannya terlebih dahulu : Bershalawat.
"Sesungguhnya Allah dan para
malaikat bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang beriman, berershalawatlah
kepada Nabi."
Sejak dulu kita mengenal berbagai
syair shalawat yang ditulis oleh para ulama. Syair pujian yang dituliskan untuk
menggambarkan kecintaan pada seorang manusia mulia. Manusia yang dipercaya
'nur'-nya diciptakan lebih dulu sebelum segala sesuatu diciptakan.
Schimmel memang selalu melihat
ajaran Rasulullah dari sisi paling sublim, sisi yang mengisi bathin paling
dalam seorang manusia. Dia memotret Nabi dalam seluruh energi cintanya. Dia
menelaah bagaimana ungkapan cinta begitu besar ditunjukan umatnya kepada
seorang Pribadi mulia.
Ada kisah tentang seorang
penyusup yang dikirim musuh-musuh Nabi untuk memata-matai kehidupan Rasulullah
menjelang perjanjian Hudaibiyah. Apa yang dilaporkan kepada para pembesar
Quraisy mengenai hasil kerjanya itu?
"Saya tidak pernah melihat
seorang pemimpin dicintai sedemikian rupa seperti Muhamad dicintai para
pengikutnya. Ketika dia bicara ppendengarnya menundukkan kepala karena segan.
Ketika ia berwudhu, para pengikutnya berebut percikan bekas wudhunya berharap keberkahan."
Rasululah hadir bukan untuk
mendirikan sebuah negara. Ia tidak membawa misi politik kekuasaan. Jikapun
berpolitik, semata-mata hanya untuk menegakkan keadilan sebagai ruh dari agama.
Pada hakekatnya ia hadir untuk menjadi contoh perilaku yang baik. Ia adalah
Rahmat bagi seluruh alam.
Sebenarnya kehadira Rasulullah
adalah bukti cinta Tuhan kepada manusia. Mana mungkin manusia yang dhaif ini
bisa sampai pada keagungan Tuhan. Manusia begitu terbatas. Tuhan maha tidak
terbatas.
Rasulullah menjembatani gap yang
jauh itu. Tidak ada perjalanan seorang muslim yang bergerak menuju Tuhannya
tanpa perantara Nabi mulia. Kanjeng Rasul adalah semacam tiket satu-satunya
yang mengantarkan perjalanan manusia menuju sang khalik.
Mencintai Kanjeng Nabi dan keluarganya
selain bagian dari perintah agama juga sejenis ungkapan syukur. Bahwa Allah
tidak membiarkan manusia berjalan di atas peta buta. Jalan Rasul adalah jalan
cinta. Jalan menuju Sang Maha Cinta.
Shollu alan Nabi waaliy.
0 komentar